Read Me

Selasa, 17 November 2015

Lintang Tak Lagi Bersinar (1)


Niki Lintang Permata biasa dipanggil Lintang. Dalam Bahasa Jawa, Lintang berarti Bintang. Orang tuaku memberikan nama itu agar aku senantiasa bersinar seperti bintang yang setiap malam menyinari kegelapan. Dan karna doa yang tertanam dalam nama itu, aku pun tumbuh menjadi seorang gadis yang ceria sebelum saat itu tiba.

Sebelum aku nyeritain soal apa yang terjadi saat itu aku akan menceritakan tetang rasa syukur. Yah, rasa syukur yang seharusnya semua orang miliki akan tetapi tidak sedikit dari kita yang mengabaikan nikmat yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Inget nggak kejadian tentang kabut asap sehingga banyak korban berjatuhan karna INSPA? Tanpa kita sadari, bisa menghirup udara bersip setiap haripun merupaka anugerah yang luar biasa yang Tuhan berikan kepada kita. Dan mengingat tentang hal itu, aku nggak tau kapan terakhir kali Tuhan akan mengijinkan ku untuk bernafas.

Aku Lintang yang kini sudah tidak pantas lagi disebut sebagai seorang gadis akan tetapi lebih pantas untuk disebut seorang wanita di usia 22 tahun ini sedang mencoba sekuat tenaga dan sekuat hati untuk memperjuangkan hidup. Perjuangan hidup untuk melawan sakit ini. Dua organ yang seharusnya saling berdampingan dan melengkapi akhirnya harus terpisahkan satu sama lain. Ginjal.

Ginjal yang telah tak berfungsi selayaknya terpaksa harus diambil dan menjadikan ku lebih lemah dari biasanya. Awalnya keberadaan satu ginjal ini membuatku lemah secara fisik saja, akan tetapi lama kelamaan batin dan semangat hidupku juga semakin lemah. Hal yang paling membuatku lemah adalah sebelum ku korbankan satu ginjalku tersebut aku harus ke rumah sakit minimal satu kali seminggu. Tidak hanya lelah yang kurasa tapi juga beban. Beban karna aku semakin membebani orang tua dan kakakku dan beban memikirkan bagaimana bisa aku menghabiskan uang yang aku itu sendiri susah didapatkan.

Seringkali aku berfikir, mengapa Tuhan tak mengambil nyawaku saja kemudian hilang sudah beban keluargaku terhadapku. Hingga akhirnya Tuhan menyadarkanku bahkan keluargaku lebih bahagia jika aku masih senantiasa berada disisi mereka. Berada disisinya meskipun dengan segala keterbatasan dan kelemahan yang kumiliki.

Sering kita berpikir, kita hidup hanyalah sebagai beban. Bahkan secara tidak sadar kita takut dulu sebelum melakukan usaha tuk meraih kesuksesan. Lihat dulu deh sebenernya apa yang kita takutin itu membuat kita jadi stagnan dan menyerah dengan keadaan. Sekarang perhatikan orang tua kita, seberapa keras dan pantang menyerahnya beliau dalam membesarkan kita sampai sekarang.


Keluarga adalah kekuatan terbesar yang mendorong aku tetap bersemangat. Namun dia juga salah satu kekuatan bagiku. Iya, dia yang selalu menemani dan mendukung ku. Saat itu aku yang masih berusia 20 tahun dipertemukan olehnya dalam keadaan hujan yang amat deras. Ntah kenapa saat itu ketika pulang dari magang, aku menerobos derasnya rintik hujan yang membasahi bumi dan menebar harumnya tanah kering yang tertimpa rintikan air hujan dengan payung biru muda favorit yang kubawa. Namun sepertinya kali itu aku agak sedikit lengah hingga akhirnya aku menabraknya dengan sepedaku.

Ya, aku suka ke tempat magang dengan sepedaku, karna jaraknya yang tak begitu jauh dari asrama ku. Akupun terjatuh dan seluruh badanku basah. Begitupun dia. Betapa bersalah, panik, dan malunya aku. Dengan sigap dia membantuku berdiri dengan sepeda yang menimpaku. Sejak saat itu aku mengenalnya setelah dia mengantarku sampai asrama karna kakiku yang kesulitan untuk mengayuh sepeda.


**to be continue
Comments
0 Comments

0 komentar: