Niki Lintang Permata biasa dipanggil Lintang.
Dalam Bahasa Jawa, Lintang berarti Bintang. Orang tuaku memberikan nama itu
agar aku senantiasa bersinar seperti bintang yang setiap malam menyinari
kegelapan. Dan karna doa yang tertanam dalam nama itu, aku pun tumbuh menjadi
seorang gadis yang ceria sebelum saat itu tiba.
Sebelum aku nyeritain soal apa yang terjadi
saat itu aku akan menceritakan tetang rasa syukur. Yah, rasa syukur yang
seharusnya semua orang miliki akan tetapi tidak sedikit dari kita yang mengabaikan
nikmat yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Inget nggak kejadian tentang
kabut asap sehingga banyak korban berjatuhan karna INSPA? Tanpa kita sadari,
bisa menghirup udara bersip setiap haripun merupaka anugerah yang luar biasa
yang Tuhan berikan kepada kita. Dan mengingat tentang hal itu, aku nggak tau
kapan terakhir kali Tuhan akan mengijinkan ku untuk bernafas.
Aku Lintang yang kini sudah tidak pantas lagi
disebut sebagai seorang gadis akan tetapi lebih pantas untuk disebut seorang
wanita di usia 22 tahun ini sedang mencoba sekuat tenaga dan sekuat hati untuk
memperjuangkan hidup. Perjuangan hidup untuk melawan sakit ini. Dua organ yang seharusnya
saling berdampingan dan melengkapi akhirnya harus terpisahkan satu sama lain.
Ginjal.
Ginjal yang telah tak berfungsi selayaknya
terpaksa harus diambil dan menjadikan ku lebih lemah dari biasanya. Awalnya keberadaan
satu ginjal ini membuatku lemah secara fisik saja, akan tetapi lama kelamaan
batin dan semangat hidupku juga semakin lemah. Hal yang paling membuatku lemah
adalah sebelum ku korbankan satu ginjalku tersebut aku harus ke rumah sakit
minimal satu kali seminggu. Tidak hanya lelah yang kurasa tapi juga beban. Beban
karna aku semakin membebani orang tua dan kakakku dan beban memikirkan bagaimana
bisa aku menghabiskan uang yang aku itu sendiri susah didapatkan.
Seringkali aku berfikir, mengapa Tuhan tak
mengambil nyawaku saja kemudian hilang sudah beban keluargaku terhadapku. Hingga
akhirnya Tuhan menyadarkanku bahkan keluargaku lebih bahagia jika aku masih senantiasa
berada disisi mereka. Berada disisinya meskipun dengan segala keterbatasan dan
kelemahan yang kumiliki.
Sering kita berpikir, kita hidup hanyalah
sebagai beban. Bahkan secara tidak sadar kita takut dulu sebelum melakukan
usaha tuk meraih kesuksesan. Lihat dulu deh sebenernya apa yang kita takutin
itu membuat kita jadi stagnan dan menyerah dengan keadaan. Sekarang perhatikan
orang tua kita, seberapa keras dan pantang menyerahnya beliau dalam membesarkan
kita sampai sekarang.
Keluarga adalah kekuatan terbesar yang
mendorong aku tetap bersemangat. Namun dia juga salah satu kekuatan bagiku. Iya,
dia yang selalu menemani dan mendukung ku. Saat itu aku yang masih berusia 20
tahun dipertemukan olehnya dalam keadaan hujan yang amat deras. Ntah kenapa
saat itu ketika pulang dari magang, aku menerobos derasnya rintik hujan yang
membasahi bumi dan menebar harumnya tanah kering yang tertimpa rintikan air
hujan dengan payung biru muda favorit yang kubawa. Namun sepertinya kali itu
aku agak sedikit lengah hingga akhirnya aku menabraknya dengan sepedaku.
Ya, aku suka ke tempat magang dengan sepedaku,
karna jaraknya yang tak begitu jauh dari asrama ku. Akupun terjatuh dan seluruh
badanku basah. Begitupun dia. Betapa bersalah, panik, dan malunya aku. Dengan sigap
dia membantuku berdiri dengan sepeda yang menimpaku. Sejak saat itu aku mengenalnya
setelah dia mengantarku sampai asrama karna kakiku yang kesulitan untuk
mengayuh sepeda.
**to be
continue