Read Me

Kamis, 19 November 2015

Lintang Tak Lagi bersinar (2)

**Kalau ada yang belum tau ato lupa part I, baca disini yah



Seperti mimpi dan kisah romantis yang pernah ada di cerita kebanyakan, tapi inilah yang terjadi. Dody namanya. Dody adalah mahasiswa yang ternyata kuliah di universitas yang sama denganku. Dan tanpa ku sadari, dia ada di jurusan dan angkatan yang sama denganku, meskipun beda rombel. Jadi pantas kalo saat itu aku familiar dengan wajahnya. Dody adalah seorang yang humoris dan ringan tangan, tapi dia agak culun. Sebelum menjadi kekasih hatiku, dia memang seseorang yang nggak peduli sama sekali dengan penampilannya. Kumis tipis dan jambang yang terkesan tidak rapi, wajah yang kusam dan berminyak dengan sedikit titik jerawat di tepi pipi kanan dan kirinya membuat dia terlihat lebih tua dari umurnya yang sebenernya.

Tampilannya yang seperti itu bukanlah menjadi masalah bagiku, akan tetapi setelah dekat denganku dia memperlihatkan kepeduliannya terhadap penampilannya. Yang pasti aku nggak pernah memaksanya tuk merubah penampilan, hanya memberikan masukan dan memang dia nyaman dan menikmati perubahan itu. Tak sedikit cewek yang memang menilainya lebih terlihat tampan. Yah, dia memang seseorang yang bisa dibilang publik figur. Publik figur didunia maya tepatnya. Mulai dari aktif di instagram, twitter, blog, bahkan tampil di beberapa event sebagai MC dan Komika. Siapa sangka si culun menjadi semakin banyak penggemar sekarang?

Sebagai kekasihnya aku patut membanggakan diri karna memilikinya, hingga akhirnya rasa sakit ini membuatku berpikir bahwa ada wanita lain yang yang memang lebih pantas baginya. Betapa besarpun rasa sayang ini untuknya tidak membuatku ragu untuk akhirnya melepaskannya saat aku tahu bahwa ada wanita lain yang juga selama ini mencintainya secara tulus.

Aku mulai sadar bahwa kondisi fisikku semakin melemah dan karna dalam ukurun waktu hampir seminggu mendorongku untuk memeriksakan diri ke dokter. Dokter memeberikan rujukan ke rumah sakit, hingga akhirnya aku tahu bahwa ginjalku bermasalah dan aku harus melakukan cuci darah secara rutin. Awalnya aku sulit menerimanya tapi ketika aku menceritakan semuanya kepada Dody, I feel better.

Tanpa ku pungkiri, Lintang yang senantiasa bersinar terang perlahan semakin meredup dan sesekali bahkan tak bersinar. Sejak aku kembali ke daerah asalku, akupun menjalin hubungan jarak jauh alias LDR dengan Dody. Selain karna agar lebih mudah menjalani pengobatan dan dekat dengan keluarga, akupun telah diterima di salah satu perusahaan swasta di daerahku.

Setelah sekitar tiga bulan aku menjalani Long Distance Relationship (LDR) dengan Dody, dia agak berubah. Sikapnya lebih dingin tak sedingin biasanya. Meskipun aku tau bahwa Dody adalah tipe cowok cuek. Dan pada akhirnya aku tau dari sahabatnya bahwa dia mulai dekat dengan wanita lain. Sedikit kecewa mendengarnya namun aku berusaha untuk bersikap biasa dan tak mempercayai apa yang telah dikatakan Niko, sahabat Dody. Hingga akhirnya aku menanyakan hal tersebut kepada Dody dan jawabanya membuatku kecewa tetapi harus tetap mengikhlaskan.

Saat itu aku sadar bahwa dalam menjalani hubungan jarak memang tak seharunya menjadi suatu masalah, akan tetapi harunya dijadikan sebagai kekuatan tuk saling menguatkan. Mudahnya aku mendapatkan cintanya hingga akhirnya dipersatukan dengan mudahnya kita terpisahkan bukan merupakan sesuatu hal yang pantas dinilai aneh. Harusnya aku lebih bersyukur karna aku dan dia bukanlah pasangan yang awalnya dipersatukan dengan ketidakmudahan akan tetapi diakhir hubungan diakhiri dengan kemudahan untuk memutuskan jalinan kasih.



Meskipun aku mencoba mengikhlaskannya, namun tak bisa ku pungkiri aku senantiasa memikirkannya bahkan mendoakannya agar dia senantiasa bahagia. Meskipun kebahagiaannya sekarang tidaklah muncul karna keberadaanku disisinya, namun aku masih bersyukur karna sempat membuatnya tersenyum bahagia bahkan tertawa bersama. Dan jujur, kebahagiaan ku diiringi dengan perih. Yang pasti keluarga selalu mendorongku tuk terus tersenyum, meskipun pada kenyataannya senyuman ku tak lagi semanis dulu, senyuman ini berubah menjadi asam.

Aku hanya berdoa agar aku Tuhan selalu membuatku segera mengikhlaskannya dan dapat menjadi Lintang yang bersinar sebagaimana biasanya. Tapi sepertinya itu butuh waktu yang cukup lama. Sebagaimana teman-teman kerja ku bilang, sekarang aku berubah. Lintang semakin redup dan mudah tersinggung. Jujur, aku tak ingin seperti itu. Aku pun terkadang bingung harus bagaimana tuk kembali menjadi Bintang yang bersinar seperti dulu. Mungkin menunggu pengganti sosok Dody yang mampu membuatku bersinar kembali atau bahkan menunggu Dody kembali. Bodoh memang memikirkan semua yang kini telah menghilang akan kembali lagi, tapi aku pun tak tau apa yang telah direncanakan Tuhan untuk ku. Yang aku tau adalah aku harus bersabar, tetep kuat, dan ikhlas dalam mejalani kehidupan ini dengan doa dan semangat orang-orang yang menyayangiku selama ini, terlebih keluarga.

Meskipun Dody tak bersamaku lagi, namun aku masih menyimpan rasa ini untuknya. Ntah sampai kapan akupun tak tahu.


*** Mohon masukannya ya. Ayo, mau happy ending ato sad ending aja  nih? Mau Lintang move on ato tetep sabar nunggu Dody berubah pikiran? Terimakasih telah setia membaca. Meskipun selama ini kamu hanya menjadi secreat reader ku. Ayolah kasih kritikan bahkan masukan buat aku. Masih nanguung ini ceritanya nggantung.

Selasa, 17 November 2015

Lintang Tak Lagi Bersinar (1)


Niki Lintang Permata biasa dipanggil Lintang. Dalam Bahasa Jawa, Lintang berarti Bintang. Orang tuaku memberikan nama itu agar aku senantiasa bersinar seperti bintang yang setiap malam menyinari kegelapan. Dan karna doa yang tertanam dalam nama itu, aku pun tumbuh menjadi seorang gadis yang ceria sebelum saat itu tiba.

Sebelum aku nyeritain soal apa yang terjadi saat itu aku akan menceritakan tetang rasa syukur. Yah, rasa syukur yang seharusnya semua orang miliki akan tetapi tidak sedikit dari kita yang mengabaikan nikmat yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Inget nggak kejadian tentang kabut asap sehingga banyak korban berjatuhan karna INSPA? Tanpa kita sadari, bisa menghirup udara bersip setiap haripun merupaka anugerah yang luar biasa yang Tuhan berikan kepada kita. Dan mengingat tentang hal itu, aku nggak tau kapan terakhir kali Tuhan akan mengijinkan ku untuk bernafas.

Aku Lintang yang kini sudah tidak pantas lagi disebut sebagai seorang gadis akan tetapi lebih pantas untuk disebut seorang wanita di usia 22 tahun ini sedang mencoba sekuat tenaga dan sekuat hati untuk memperjuangkan hidup. Perjuangan hidup untuk melawan sakit ini. Dua organ yang seharusnya saling berdampingan dan melengkapi akhirnya harus terpisahkan satu sama lain. Ginjal.

Ginjal yang telah tak berfungsi selayaknya terpaksa harus diambil dan menjadikan ku lebih lemah dari biasanya. Awalnya keberadaan satu ginjal ini membuatku lemah secara fisik saja, akan tetapi lama kelamaan batin dan semangat hidupku juga semakin lemah. Hal yang paling membuatku lemah adalah sebelum ku korbankan satu ginjalku tersebut aku harus ke rumah sakit minimal satu kali seminggu. Tidak hanya lelah yang kurasa tapi juga beban. Beban karna aku semakin membebani orang tua dan kakakku dan beban memikirkan bagaimana bisa aku menghabiskan uang yang aku itu sendiri susah didapatkan.

Seringkali aku berfikir, mengapa Tuhan tak mengambil nyawaku saja kemudian hilang sudah beban keluargaku terhadapku. Hingga akhirnya Tuhan menyadarkanku bahkan keluargaku lebih bahagia jika aku masih senantiasa berada disisi mereka. Berada disisinya meskipun dengan segala keterbatasan dan kelemahan yang kumiliki.

Sering kita berpikir, kita hidup hanyalah sebagai beban. Bahkan secara tidak sadar kita takut dulu sebelum melakukan usaha tuk meraih kesuksesan. Lihat dulu deh sebenernya apa yang kita takutin itu membuat kita jadi stagnan dan menyerah dengan keadaan. Sekarang perhatikan orang tua kita, seberapa keras dan pantang menyerahnya beliau dalam membesarkan kita sampai sekarang.


Keluarga adalah kekuatan terbesar yang mendorong aku tetap bersemangat. Namun dia juga salah satu kekuatan bagiku. Iya, dia yang selalu menemani dan mendukung ku. Saat itu aku yang masih berusia 20 tahun dipertemukan olehnya dalam keadaan hujan yang amat deras. Ntah kenapa saat itu ketika pulang dari magang, aku menerobos derasnya rintik hujan yang membasahi bumi dan menebar harumnya tanah kering yang tertimpa rintikan air hujan dengan payung biru muda favorit yang kubawa. Namun sepertinya kali itu aku agak sedikit lengah hingga akhirnya aku menabraknya dengan sepedaku.

Ya, aku suka ke tempat magang dengan sepedaku, karna jaraknya yang tak begitu jauh dari asrama ku. Akupun terjatuh dan seluruh badanku basah. Begitupun dia. Betapa bersalah, panik, dan malunya aku. Dengan sigap dia membantuku berdiri dengan sepeda yang menimpaku. Sejak saat itu aku mengenalnya setelah dia mengantarku sampai asrama karna kakiku yang kesulitan untuk mengayuh sepeda.


**to be continue